Aku seorang pria 34 tahun penganut SADOMASOCHIS,
yang selalu mengangankan pengalaman diikat, disiksa, diperolokan,
dipermainkan, Cross-Dressing, dan sebagainya. Serta berharap pada suatu
ketika kelak dapat mewujudkannya dalam kenyataan. Bagi pembaca yang
ingin berkomentar/membantuku mewujudkannya dalam dunia nyata dapat
menghubungiku melalui kontak email. Fantasiku antara lain sebagaimana
yang akan kuceritakan berikut ini, maka selamat menikmati!
"Nah,
sekarang permainan kita mulai. Lepaskan seluruh pakaianmu!" perintah
wanita cantik bergaun kulit warna hitam tersebut. Dia tampak begitu
perkasa. Jantungku berdebar membayangkan kenikmatan yang segera akan
kurasakan. Kulepaskan baju dan celanaku. Batang kemaluanku mulai
menegang. "Semuanya!" hardiknya ketika melihatku masih menyisakan celana
dalam yang kukenakan. Debaran jantungku kian kencang. Kini tampillah
aku apa adanya, bagaikan bayi dewasa, bugil sama-sekali, sementara itu
si "kecil" sudah benar-benar tegang, dan dia tertawa melihatnya. "Ha,
ha, ha.. sudah enggak sabar, ya? Aku tertunduk malu.
Sesuai
kontrak dan skenario yang telah disepakati, aku akan melayani segala
kebutuhannya sepanjang malam ini hingga pagi nanti. Aku akan menjalankan
segala perintahnya tanpa perdebatan. Dia memiliki diriku seutuhnya. Dia
berhak melakukan apapun terhadap diriku, dan aku kehilangan hak sama
sekali terhadap diriku. Aku tidak akan melakukan apapun berkaitan dengan
tubuhku tanpa perintahnya. Pengendalian terhadap diriku sepenuhnya
berada di tangannya. Diriku tidak lebih sekedar benda-benda milik
pribadinya yang dapat dia perlakukan sesukanya.
"Baguuss..! Sekarang kamu menjadi budak saya, benar?" tegasnya.
Aku mengangguk.
"Benar tidak?" hardiknya memastikan.
"I, i, iya.." jawabku terbata-bata.
Walaupun
keadaan ini memang kudambakan, namun tetap saja ketegangan mencekam
hatiku, menduga-duga segala kemungkinan yang akan menimpaku; sungguh
mendebarkan.
"Iya apa?" bentaknya.
"I.. Iya Nyonya!" sahutku segera.
"Kamu siapa?"
"Sa-saya budakmu, Nyonya."
"Sayyaa..?" tanyanya sinis.
"Ham, Hamba, Nyonya!" sahutku dengan perasaan menyesal.
"Bagus..!" Senyum kemenangan membayang di wajahnya.
"Apa yang akan kamu kerjakan?"
"Apa saja, asal dapat menyenangkan Nyonya."
"Hmm.., bagaimana?" Senyumnya menggoda.
"Terserah Nyonya. Perintahkan apa saja, pasti akan hamba kerjakan."
"Ha, ha, ha, ha, ha.. Baiklah.."
Berhenti
sejenak, lalu lanjutnya, "Kita mulai dengan perlengkapanmu dulu. Ambil
peti itu!" perintahnya sambil menunjuk ke sebuah peti yang terdapat di
sudut ruangan.
Aku
segera melangkah dan mengangkatnya ke hadapan wanita itu. Dia menyuruh
aku membuka dan mengeluarkan seluruh isinya. Dari dalam kotak itu aku
mengeluarkan beberapa gulung tali-temali, rantai, borgol, kekang leher,
penjepit jemuran, lakban, cambuk, dan sebagainya. Degup jantungku serasa
menghentak-hentak membayangkan kenikmatan yang segera akan
dihadiahkannya.
Disuruhnya
aku telungkup. Lalu dilipatnya kaki kananku. Dengan seutas tali
diikatnya pergelangan kakiku menyatu ke pangkal paha; begitu juga dengan
kaki kiriku. Ikatan ini begitu ketat, sehingga tidak memberikan ruang
gerak sedikitpun antara pergelangan dan paha, benar-benar menyatu rapat.
Kemudian dia meyuruhku duduk, lalu merapatkan jari-jari tanganku untuk
kemudian dibelit dengan lakban, sehingga telapak tanganku tak dapat
dimekarkan. Diambilnya kekang leher yang terbuat dari kulit dan
dibelitkan ke leherku. Masih belum puas, dipungutnya 2 jepitan jemuran
yang terangkai menjadi satu oleh seutas rantai.
"Aduh!"
jeritku ketika jepitan pertama menjepit dada kiriku, persis di bagian
pentilnya yang sangat kecil. Kengerian bercampur nikmat tergambar di
wajahku saat dia mulai mengarahkan penjepit kedua ke dada kananku.
"Aduuhh.. akkhh.. hh..!" erangku, sakit tapi nikmat. Dia menyeringai
puas melihat penderitaanku. Beberapa saat dipermainkannya rantai
penghubung kedua jepitan tersebut; ditarik-dilepaskan; yang tentu saja
tambah menyakitkan dadaku. Kukatupkan erat kedua rahangku menahankan
rasa perih yang kian menusuk, mengimbanginya dengan semakin memusatkan
pikiran pada sensasi kenikmatan yang menyertai. Seringainya makin lebar,
kedua matanya tampak berbinar-binar. Sesekali disorongkannya wajahnya
dan menjulurkan lidah menggesek dadaku di sekitar alat penjepit itu.
"Ahh.. nikmatnya!" pikirku.
Tak
lama kemudian rasa perih mulai mereda, tampaknya tubuhku telah mulai
dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Kemudian dengan sebelah
tangan digenggamnya batang kemaluanku yang telah tegang sejak tadi dan
perlahan dikocoknya. Ujungnya sudah mulai basah. Diusap, lalu dia
mengarahkan tangannya ke wajahku. Aku segera menyambutnya dengan membuka
mulut dalam posisi siap untuk mengemutnya. Namun dia hanya
mengoleskannya saja ke bibirku. Bibirku terasa lengket. Diusapnya lagi
ujung kemaluanku, dan kembali membawanya ke mulutku. Kali ini tanpa
buang-buang waktu segera saja kuterkam telunjuknya dan mengemutinya
dengan penuh nafsu; menikmati cairanku sendiri.
"Ha,
ha, ha, ha, ha, ha, ha..! Aduuh, enggak sabar, ya? Enaknya, produksi
sendiri, lagi?" Aku mengangguk berulang-ulang. Tawa cemoohannya
menderai. Kembali dia mengambil cairan itu dan ketika aku kembali
menerkam, dia menarik tangannya. "Jangan!" bentaknya melarang. Aku
segera menghentikan gerakan dan menatapnya dengan agak kecewa. "Tidak
boleh diemut, jilat seperti makan es krim!" tegasnya. Aku menuruti, dan
dia kembali tertawa-tawa.
Setelah
itu dia melangkah ke arah ranjang, dan duduk di pinggirnya. "Bawa
kemari cambuk itu!" sambil menunjuk rantai yang tergeletak di samping
peti di dekatku. Aku diam, tak mengerti. "Ambil dengan mulutmu, lalu
bawa kemari!" Kurendahkan wajahku dan mengarahkan mulut memungut cambuk
kulit yang dia maksudkan. Lalu aku merangkak mendekati ranjang. Dia diam
saja. Kusorongkan mukaku mendekati telapak tangan kanannya. Dia
tersenyum dan membuka telapak tangannya. Kulepaskan jepitan bibirku,
sehingga cambuk tersebut bergulir ke telapak tangannya.
"Pintar
sekali, rupanya kamu cepat mengerti. Melihat caramu kemari tadi, aku
teringat pada sesuatu, kamu tahu, kan?" Aku agak ragu dengan maksud
ucapannya.
"Itu loh.. yang jalannya seperti kamu tadi ituu.. Kalau enggak salah seekor binatang, apa yaa..?" Jantungku kembali berdebar.
Aku paham benar, dia sedang mengolok-olokku.
"Hei, apa namanya, jawab!" bentaknya.
"Aaa.. ann.. anjing, Nyonya." jawabku terbata-bata sambil menundukkan kepala.
"Ohh iyaa.. benar juga, anjing yaa?" tegasnya.
Senyumnya terasa menyakitkan.
"Jadi yang begitu itu namanya anjing, ya?"
"Benar, nyonya."
"Kalau begitu kamu siapa?"
Jantungku
kian berdebar. Begitu hinakah diriku? Perih sekali hati ini. Aku hanya
menunduk tak mampu menjawabnya. Tiba-tiba TAR! Lecutan cambuk mendera
badanku,
"Jawab!" TAR! TAR!
"Am.. ampun, Nyonya!" aku mengangkat tangan berusaha mencegahnya, tapi dia malah semakin kalap, TAR!
"Kamu siapa, jawab!" TAR!
"Aaa.. anjing, Nyonya! Anjiing!" jawabku.
"Apa!"
"Anjing, Nyonya?"
"Siapa?" Bentakannya kian tinggi.
"Hamba, Nyonya."
TAR!
"Jawab yang lengkap! Siapa yang anjing?"
"Hamba, Nyonyaa.. hambaa.." jawabku memelas.
"Hamba yang anjing."
"Coba ulangi!" nadanya mengancam.
"Hamba anjing."
"Lagi!" makin tinggi nada suaranya.
"Hamba
anjing, hamba anjing, hamba anjing, hamba anjing, hamba.." jawabku
berulang-ulang tanpa berani berhenti sebab tangannya sudah terlihat
hendak kembali mengayunkan cambuk itu.
"Baguuss,
itu baru pintar namanya! Tapi anjing kok bisa ngomong, ya? Kayaknya
anjing enggak bisa ngomong, deh, benar enggak!" Aku kebingungan.
"Anjing bisa ngomong, enggak?" ulangnya.
"Eng.. enggak, Nyonya!" sahutku.
"Lho, kok ngomong lagi?"
Aku makin bingung, ditanya tapi disalahkan ketika menjawabnya.
"Anjing bisa ngomong enggak?"
Aku menggeleng. TAR! Cambuknya turut bicara.
"Heh, kamu anjing bisu, ya?"
"Enggak, Nyonya, enggaak..!"
"Kamu ini bodoh sekali sih?"
TAR! TAR! Aku menggeliat-geliat menahan sakit.
"Kalau kamu anjing, ya pakai bahasa anjing, dong?"
"Oh begitu maksudnya," pikirku.
Dengan ragu-ragu aku mencoba menyahutinya,
"Guk.. guk.. guuk..!"
"Ha, ha, ha, ha.. pintar!" pujinya.
"Mulai sekarang kamu menggonggong satu kali untuk iya dan dua kali untuk tidak, mengerti?"
"Menger.." jawabanku terpotong melihat gerakan tangannya yang kembali akan mengayunkan cambuk.
"Eh, maaf, eh.. guk! guk!" sahutku gelagapan.
"Bagus! Kamu harus menuruti segala perintah dan menjawab seluruh pertanyaanku, mengerti?"
"Guk!" "Nah,
sekarang kembali ke sana, dan ambilkan rantai itu!" Aku kembali
merangkak ke arah peti, memungut seutas rantai dengan mulut dan kembali
ke ranjang. "Kamu memang anjing pintar, pantas untuk dipelihara!"
katanya sambil menerima rantai yang kusorongkan padanya dengan mulutku.
Pada salah satu ujung rantai tersebut sudah terpasang kaitan, yang
kemudian dia kaitkan pada ring yang terdapat di kekang leherku. "Makanya
kamu harus dipasangi rantai supaya tidak ngabur, benar?"
"Guk!"
"Kamu senang, budak?"
"Guk!"
"Bagus..!" katanya sambil mengelus-elus kepalaku.
Tiba-tiba
dia tangannya menekan ranjang hingga pantatnya sedikit terangkat dan
lalu memerintahkanku melepaskan roknya dengan mulut. Aku menurut. Perlu
perjuangan yang melelahkan untuk melakukannya. Selesai dengan rok, tiba
giliran celana dalamnya. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil juga
melepaskannya. "Kemarikan!" Dia meminta celana dalamnya. Dengan mulut
kupungut celana dalamnya dari lantai dan memberikannya pada Nyonyaku.
Dia menerimanya sambil tersenyum dan lalu memasangkannya ke kepalaku
bagaikan topeng. Bau pengap bercampur aroma kewanitaan segera menerobos
penciumanku. Si kecil kian mengeras. Hasratku kian bergelora dirangsang
oleh aroma celana dalamnya ini. Ditariknya rantai di leherku, sehingga
kepalaku mendekati selengkangannya yang telah dia rentangkan lebar. Aku
mengerti, dan mulai menjilati liang kemaluannya.
Dicondongkannya
badannya ke belakang. Tak lama kemudian dia mulai menggelinjang
kenikmatan. Sesekali terdengar desahannya, "Ahh.. aah.. aahh.. teruuss..
teruus.. aahh.. hh, teruuss.. ahh.." Dirundukkannya badannya, dan
menarik rantai sehingga kepalaku mendongak ke atas. Sekarang ganti
puting susunya yang kuhisap-hisap. Sesekali kuelus-elus puting itu
dengan lidahku. Desahannya makin menjadi-jadi. Akhirnya dia tak tahan
lagi. Direbahkan dan diperosotkannya badannya ke lantai dan menyuruhku
segera menancapkan batang kemaluanku pada liangnya.
"Hah,
hah, hah, hah, hah, hah.." Napasnya tersenggal-senggal. Tubuhnya
bergetar keras, makin keras, napasnya semakin cepat, dan, "Ahh.. hhk..!"
dia melenguh panjang setelah mencapai orgasme. Dia terbaring kelelahan
beberapa saat, sementara aku tetap saja dalam posisi merangkak gaya
anjing. Tak lama kemudian dia bangkit melepaskan celana dalamnya dari
wajahku, mengusapkan pada kemaluannya, kemudian menggulungnya menjadi
bola dan dimasukkan ke dalam mulutku. Rasa dingin dan aneh menyentuh
lidahku. Dia beranjak ke lemari pakaian mengambil celana dalam pengganti
dan memakainya. Lalu dipakainya kembali rok kulit ketat yang
dikenakannya semula, kemudian melangkah ke arah peti dan mengambil
lakban. Setelah itu dia kembali menghampiriku dan membelitkan lakban itu
disekeliling kepala untuk mencegahku mengeluarkan celana dalamnya.
Diambilnya seutas tali dan diikatkan pada batang kemaluanku. Tali itu
melilit mulai dari pangkal batang terus hingga bagian kepalanya. Lalu
rantai yang semula terhubung pada kekang leherku dilepaskan dan
dipindahkan mengait tali pada bagian ujung kemaluanku. Ujung rantai yang
sebelah dibelitkan pada pergelangan kaki kirinya.
"Saatnya
untuk jalan-jalan!" katanya sambil mulai beranjak. Batanganku tertarik
mengikuti ayunan langkahnya. Kini, kemanapun dia melangkah aku terpaksa
merangkak mengikutinya. Sesekali langkah kaki kanannya agak dilebarkan
sehingga menyentakkan batang kemaluanku, menimbulkan rasa ngilu, tapi
aku menikmati semua itu. Semakin tak berdayanya diriku, semakin berbinar
kenikmatan yang kurasakan. Aku harus gesit menuruti langkahnya, sebab
jika tidak maka kemaluanku rasanya akan copot, belum lagi deraan cambuk
yang dilecutkannya ke punggungku setiap kali aku agak tertinggal.
Tiba
di dekat peti diambilnya segulung tali dan dimasukkan ke dalam saku
roknya. Setelah berjalan-jalan mengelilingi ruangan beberapa kali, dia
membuka pintu kamar menuju ke dapur. Diambilnya sebuah gelas dan sebotol
air es dari kulkas, dan toples makanan kecil, lalu meninggalkan dapur
menuju ke ruang tengah. Aku terus merangkak mengikuti setiap langkahnya.
Tiba
di ruang tengah dia mengisi gelasnya, dan minum beberapa teguk, lalu
gelas dan botol itu diletakkan di atas meja dekat kursi malas. Setelah
menyalakan TV, dia duduk di kursi malas itu, mengayun-ayunkan diri,
sementara aku bersimpuh di lantai di hadapannya dengan kedua tangan
diluruskan sebagaimana seharusnya; beginilah aku, beginilah biasanya
seekor anjing duduk menunggui tuannya. Aku telah diperintahkan untuk
mengarahkan pandangan hanya menatap ujung jari kakinya. Dan aku
menaatinya dengan penuh kepatuhan.
Sesaat
kemudian dia menyentakkan kaki kanannya ke belakangnya, sehingga
kemaluanku tersentak. Aku mengangkat muka untuk mengetahui maksud
sentakannya, namun lecutan cambuknya membuatku teringat dan kembali
menundukkan muka. Ditariknya kakinya ke belakang, sehingga aku bangkit
dari duduk dan merangkak maju mendekati kakinya. Dia membungkuk
melepaskan lakban yang membelit wajahku dan mengeluarkan sumpalan celana
dalamnya dari mulutku. Setelah itu dilonjorkannya kaki kirinya ke arah
wajahku. Aku paham, dan mulai menjilati ujung-ujung jari kakiya. Setelah
semua jari selesai kujilati, didongakkannya pergelangan kakinya, dan
aku melanjutkan menjilati telapak kakinya. Dia menyenderkan tubuhnya
berayun-ayun di kursi malas sambil menonton TV, minum, mengunyah
cemilannya sambil menikmati pencucian kaki yang sedang kukerjakan. Semua
ini begitu menggairahkan bagiku. Dengan penuh kesungguhan kujilati
setiap jengkal kakinya, terus ke punggung kaki hingga mata kaki. Selesai
dengan kaki kiri, dia berganti menyodorkan kaki kanannya. Kuberikan
pelayanan yang serupa. Setiap kali lidahku terasa mengering,
kudecak-decakkan mulut untuk mengeluarkan air liur, lalu kembali
menjilati kakinya.
"Sudah bersih?" tanyanya beberapa saat kemudian.
"Guk!" jawabku mengiyakan.
"Pintaar.. kamu haus, ya?" Aku tak menjawab.
"Kamu haus, kan?" nadanya mulai mengancam.
"Guk!" jawabku sambil bertanya-tanya dalam hati, "Apa lagi, sekarang?"
Dia
mengambil botol air dari atas meja, dan menuangkan ke punggung telapak
kakinya dan berkata, "Minum!" Aku menjilati aliran air dingin di
kakinya. Dia tersenyum senang dan kembali menuangkan air, agak banyak
hingga mengalir ke lantai dan aku memburu aliran air itu menjilati
lantai.
"Ha, ha, ha, ha.. cocok sekali! Kamu memang benar-benar anjing, koq!" ejeknya.
"Guk!"
"Enak, kan?"
"Guk!"
"Bagus, gonggong terus sambil jilat!" ujarnya sambil menuangkan kembali botol air itu ke lantai.
"Guk.. Guk.. Guk.. Guk! Guk!" sahutku sambil terus menjilati lantai.
Diambilnya
cemilan dan diremasnya hingga hancur kemudian diburaikan ke lantai. Aku
pun meraih serpihan-serpihan itu dengan lidahku dan memasukkannya ke
mulut. Dia terus tertawa-tawa kesenangan dan aku kian menikmati
penghambaanku.
Akhirnya
setelah air di dalam botol terbuang habis, begitupun cemilannya, dia
bangkit menuju pintu belakang. Aku terus merangkak mengikutinya.
Dibukanya pintu, dinginnya angin malam segera menyapu tubuhku yang
telanjang. Kemudian dia menyalakan lampu, dan tampaklah sebuah taman
terbuka yang rimbun dibatasi dengan tembok tinggi. Dia menunjuk ke
tengah taman. Aku mengarahkan pandangan ke tempat yang ditunjuknya.
Ternyata di sana terdapat sebuah kandang besi berukuran 50 cm X 40 cm
dan tinggi sekitar 50 cm. Jantungku berdegup keras, "Oh jangan, jangan
di luar, jangan di kandang itu.." ratapku dalam hati sambil
menduga-duga. Dia melangkahkan kaki menuju kandang, dan bagaikan
mengerti pikiran yang terlintas di benakku, dia berkata, "Benar sekali!
Sebagai imbalan atas sikap baikmu malam ini, Nyonyamu menghadiahkan
sebuah rumah baru untukmu! Ha, ha, ha.."
"Ayo, nikmati rumah barumu ini," lanjutnya sambil terus mendekati kandang.
"Coba lihat, ukurannya pas 'kan? Kamu pasti senang, benar kan?"
"Guk!" sahutku tidak yakin.
"Setiap anjing punya kandang, kan?"
"Guk! ..Guk, Guk!"
Entah
bagaimana perasaanku saat ini. Rasa terhina tentu saja ada, namun
terselip suatu bentuk kegairahan yang mendebarkan. Aku langsung
membayangkan betapa setidaknya untuk malam ini aku harus meringkuk di
dalamnya hingga pagi, kuatkah, aku? Membandingkan ukuran kandang itu
dengan tubuhnya, sudah pasti aku tidak akan dapat meluruskan tubuh.
Kuatkah aku menahan rasa pegal yang sudah kurasakan sejak tadi hingga
esok pagi nanti? Tapi, oh betapa aku belum pernah mengalaminya.
Sepertinya asyik juga. Kutatap kemaluanku yang tetap tegang, bahkan kian
keras. Jika saja tidak ada tali yang mengekangnya, mungkin sudah sejak
tadi aku menyemprotkan sperma. Mendapatkan betapa tegangnya batang itu,
aku menjadi tambah yakin bahwa ini akan terasa nikmat. Ohh.. betapa aku
sangat ingin merasakan menghabiskan malam di dalam kandang di luar
rumah, sebagaimana seharusnya seekor anjing sesuai dengan peranku malam
ini.
Sesampainya
di depan kandang, dilepaskannya jepitan jemuran yang telah sejak tadi
menjepit pentil dadaku. Betapa sakitnya terasa ketika darah mulai
mengaliri daerah yang terjepit tadi. Kemudian dia merogoh saku dan
mengeluarkan gulungan tali yang dikantonginya sejak tadi. Dibuatnya
simpul mati pada pergelangan tangan kananku, lalu melipat sikuku ke arah
atas sehingga aku bagaikan sedang berusaha meraih pundak. Kemudian tali
tadi dibelitkan pula pada pangkal lengan sehingga tanganku tertahan
dalam posisi demikian. Lalu ujung tali tersebut dia alirkan melalui ring
yang terdapat di bagian belakang kekang leherku menuju ke bahu kiri dan
melakukan ikatan yang sama dengan lengan kananku tadi. Kini aku
merangkak dengan agak menungging, karena bagian tangan yang menyentuh
tanah adalah siku, tidak telapak tangan seperti semula.
Setelah
semua beres, sambil tertawa dibukanya pintu kandang, "Ha, ha, ha.. Ayo
masuk, jangan malu-malu-malu!" perintahnya sambil menendang pinggulku.
Aku terdorong memasuki kandang. Dengan agak ragu kuteruskan merangkak
hingga seluruh tubuhku berada di dalam kandang. Dijulurkannya tangannya
ke dalam kandang memungut rantai yang terhubung ke kemaluanku, lalu
melemparkannya ke arah dalam melalui bawah perutku. Setelah itu dia
menutup pintu kandang, dan mengunci gemboknya. Ternyata ukuran kandang
itu pas benar, sehingga aku tidak dapat menggerakkan badan untuk maju,
mundur, atau merenggangkan badan. Lalu dia berputar ke ujung kandang di
bagian depanku. Dirogohkannya tangan memungut ujung rantai yang
dilemparkannya tadi dan membelitkannya pada jeruji kandang di hadapanku.
Ditariknya rantai tersebut hingga terentang agak tegang, dan kemudian
mengaitkan gembok menguncinya.
"Selamat
menikmati rumah baru, ha, ha, ha! Tidur yang nyenyak, ya? Kamu harus
memulihkan tenaga untuk permainan besok, ha, ha, ha!" katanya sambil
melangkah pergi meninggalkan kandang, kembali ke dalam rumah. Terdengar
langkahnya kian menjauh dan diakhiri dengan derit pintu belakang yang
ditutupnya.
Tinggallah
kini aku sendirian di keheningan malam. Meringkuk telanjang bulat di
dalam kandang anjing di luar rumah, di halaman belakang. Dinginnya embun
malam menusuk kulit hingga ke tulang. Aku merenung membayangkan apa
yang akan terjadi besok. Tapi renunganku kerap terganggu oleh dengingan
nyamuk ditelinga, maupun rasa perih akibat gigitannya. Aku berusaha
menghindar dengan menggerak-gerakkan badan, namun hal ini membuat
kemaluanku tersentak-sentak, sementara tanganku tak mampu bergerak.
Akhirnya aku pasrah saja terhadap setiap serangan nyamuk-nyamuk keparat
itu. Rasa pegal dan kesemutan menjalari setiap seluk tubuhku. Aku terus
membayangkan peran-peran apa lagi yang akan kumainkan di hari-hari
berikutnya? Siksaan apa? Hinaan apa? "Ah.. nikmatnya..!" lamunku.
Fantasiku mengembara makin jauh, hingga akhirnya tanpa sadar aku pun
terlelap dalam ketakberdayaan yang nikmat ini.
What is the casino? - SEPT
BalasHapusThe best jancasino casino online goyangfc is the One of the main reasons why people are septcasino spending money on a game is by having a few options. One of gri-go.com the reasons